Sabtu, 15 Juni 2013

Sang Kiyai, Agama dan Nasionalisme itu satu

Bagi para penggemar film lokal, Sang Kiyai adalah sebuah film yang layak ditonton jika ingin melihat bagaimana pedihnya perjuangan dalam mendirikan negara-bangsa Indonesia. Adalah sebuah sejarah dan catatan hidup yang layak diapresiasi bagi generasi muda yang belum mengetahui sepenuhnya visi negara bangsa yang bernama Indonesia. Film ini juga akan memverifikasi sejarah para anak yang lahir diawal 80'an dimana pernyataan orang tua dan rumor yang mereka terima dalam pelajaran sekolah, tentang sulitnya mempercayai NU sebagai sebuah gerakan pemersatu yang simultan dengan gerakan kemerdekaan pada waktu itu. Penulis ingin menyatakan, cita-cita yang bersatu dengan semangat untuk saling memberi lahir dari kondisi yang tidak kita-kira. Dan kepemimpinan yang sempurna begitu sulit didapat bahkan sejak kita dijajah oleh Jepang dan Belanda. Fakta hari ini, dimana sangat sulit mendapatkan para pemimpin yang berdiri dan berjuang bukan untuk kepentingan kelompok atau pribadi tapi lebih pada perjuangan ummat serta generasi bangsa. Kemerdekaan yang Indah dalam bayangan para pendiri dan pejuang waktu itu adalah merdeka unutk mendapatkan hak-hak dasar serta merdeka untuk mendapatkan manfa'at dari keberadaan sebuah kongsi bersama yang disebut negara. Tapi apa diyana, begitu banyak perubahan dan ternyata kemerdekaan itu belum sepenuhnya kita dapat. Semangat kemerdekaan yang lahir dari pemahaman keagamaan yang ditafsirkan dalam prilaku kepemimpinan serta diplomasi politik, sungguh merupakan bentuk lain dari sebuah perjuangan yang patut ditauladani. Wajah role  model yang bisa hadir dari generasi ke generasi, dan selalu menadapat tempat dalam setiap kesempatan untuk mengingatkan kita bahwa Agama dan Nasinalisme itu satu. Rasanya akan sulit membangun bangsa ini jika, nilai dan kepercayaan kita tercerabut dari visi kebangsaan serta tradisi masyarakat yang sudah ada sejak dahulu kala, walau ada proses modifikasi disana sini atau adaptasi, tapi inti dari semangat akan kesatuan, persatuan dalam kasih sayang dan tanpa membedakan latar belakang atau identitas ke akuan masih merupakan harapan dan banyak ditunggu oleh masyarakat, baik masyarakat yang hidup pada masa lalu, sa'at ini dan akan datang.(rn)
Sumber foto: http://berita.plasa.msn.com  

Kamis, 17 Januari 2013

Demi Ucok "Refleksi Cinta Kasih Seorang Mamak"

Sebuah fenomena cinta yang tidak dapat dirubah dari zaman dahulu sampai sekarang, apa yang coba ditunjukan dalam film produksi Indonesia, yang menggambarkan salah satu etnik lokal yang cukup populer dari zaman VOC sampai generasi biru yang terpapar oleh teknologi digital seperti facebook. film ini memang bukan film pertama tentang etnik Batak yang pernah kita tonton, dengan gaya dan bawaan yang jelas, keras tapi penuh cinta kasih mengangkat nilai lokal sebagai bentuk kekayaan dan keragaman Indonesia yang terdiri dari lebih dari 300 suku. Di tengah-tengah kegalauan dan kondisi kebangsaan yang seakan kehilangan identitas keberagaman yang terhubung langsung dengan semangat nasionlisme, penulis melihat kehadiran film ini akan mendorong lahirnya film-film lokal dari para produser lokal sebagai respon berantai ekonomi sosial serta tantangan sosial yang makin berat. demi Ucok sebagai sebuah film bukan saja milik orang batak sebagai kelompok suku besar yang memiliki keragaman didalam sukunya sendiri, akan tetapi adalah milik Bangsa Indonesia dan orang muda yang mengerti identitas kebangsaan yang sering menghadapi krisis Identitas kebangsaan. secara mendasar penulis melihat demi ucok sesungguhnya merefleksikan kondisi politik dan sosial yang ideal dari bangsa ini, dimana sesungguhnya kita sering mengalami keterputusan dengan "Mamak" kita, dimana "Mamak" kita telah membuktikan cinta tanpa akhir dan tiada putusnya. Dimana para elit "Gloria" sering lupa akan itu hanya karena tidak dimengerti oleh "Mamak" tentang cita-cita yang ingin dia Capai. Penulis melihat, yang dibutuhkan oleh anak bangsa dalam keterpurukan lingkungan sa'at ini, dimana "Mamak Pertiwi" memberikan cinta kasihnya tanpa ujung dengan tetap memberikan apa yang dia punya untuk kehidupan "Gloria" (anak bangsa) adalah melihat kembali dasar cita-cita yang dilandasi dengan cinta kasih dan bukan ketakutan akan keterpurukan atau kehabisan sumberdaya, sehingga terjadi eksploitasi tanpa batas. Mengutip dari dialog para pemain, jika kamu berbuat karena ketakutan maka Kau akan jauh dari dia, tapi jika dengan cinta kasih maka Dia akan membimbing Kau. (rn)
Sumber foto: http://cinetariz.blogspot.com